KORUPSI DI INDONESIA
RAHAYU ANGGRAINI
15210547
2EA03
Jumlah mereka tak jelas, mungkin ratusan, bisa juga ribuan. Tersebar dari kota besar sampai pelosok desa. Pada awalnya mereka berangkat dengan satu semangat: peduli terhadap ancaman jahat praktek korupsi, yang dari tahun ke tahun seperti tak kunjung surut. Dengan niat baik inilah rapat redaksi pada pecan pertama oktober lalu memutuskan memilih LSM anti korupsi terbaik sebagai tema liputan khusus tempo 2012. Indonesia Corruption Watch (ICW), yang telah malang melintang membokar kasus korupsi, bisa dijadikan contoh. “Harusnya lebih banyak ICW baru lahir di daerah,” kata Redaktur Eksekutif Majalah Tempo Arif Zulkifli.
Dalam mencari kandidat, tiga perwakilan lemabaga yang telah malang melintang melawan korupsi diundang dalam sebuah diskusi dengan tim yang dibentuk redaksi Tempo pada awal November lalu. Dalam pertemuan hingga larut malam, sempat tercetus memasukan dua kandidat baru, yaitu satu lembaga yang membantu reformasi birokrasi di Mahkamah Agung, satu lagi pusat kajian anti korupsi disebuah Universitas terkenal. Dari rapat penelis itu, tim memperoleh 12 nama lembaga sebagai kandidat. Bersamaan dengan itu, para koresponden Tempo yang tersebar di ibu kota provinsi dan kabupaten seluruh Indonesia juga ikut mencari kandidat lain.
Stan mini di pojok lantai dasar Gramedia, Depok, Jawa Barat, itu penuh semangat. Didominasi merah tua, terpajang banner: “Tunjukkan Eksistensimu Dukung kami”. Dibuka selama sebulan, inilah stan Indonesia Corruption Watch buat menjaring dana masyarakat. Program itu digagas ICW sejak januari tahun lalu agar tidak terus bergantung pada donor asing. Selama setengah tahun, ICW menyiapkan model penggalangan. Illian Deta Artasari-sebelumnya memimpin bagian hukum dan monito ring peradilan ditunjuk menjadi coordinator.
Donasi publik dipakai ICW untuk mendanai gerakan antikorupsi. Bagian terbesar untuk advokasi. Selama ini kegiatan itu didanai saweran anggota atau patungan dengan lembaga nonpemerintah lainnya.Selain berdemonstrasi menuntut penuntasan kasus korupsi, ICW membuka layanan pengaduan di kantor lembaga ini di kawasan kalibata Timur, Jakarta Selatan. Setiap lapor dilibatkan sejak awal. Ini untuk menghindari syak wasangka jika pengaduannya ternyata tak bisa diteruskan. Didirikan di tengah euphoria reformasi, 21 Juni 1998, lembaga ini dinamai Komisi Masyarakat untuk penyelidikan Korupsi. Sejumlah aktifitas antikorupsi menjadi pendiri, diantaranya Teten Masduki, Bamban Widjojanto, dan Marsillam Simandjuntak. Pada tahun awal, ICW lebih berkonsentrasi membangun model.
Sejak Indonesia Coruption Watch berdiri pada Juni 1998, para aktivitasnya akrab dengan berbagai bentuk intimidasi. Ancaman melalui telepon sudah jamak. Teror bahkan bisa dikirim lewat guna-guna, seperti pernah didalam Adnan Topan. Pada akhir Oktober 2009, selama sebulan Adnan merasakan ngilu dan lemas memeriksanya tak menemukan penyakit apa pun. Ia akhirnya menempuh jalur lain, yakni meminta bantuan “orang pintar”. Adnan diberi tahukan sedang diguna-guna. Katanya kiriman dari Jawa Timur dan Jawa Barat,”tutur Wakil Koordinator ICW ini. Diluar terror, gugatan hukum adaah hal biasa. Emerson Yuntho Dan Illian Deta Arta Sari, misalnya, ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik pada Oktober 2009. Keduanya dilaporkan Kejaksaan Agung karena merilis data tandingan Isinya, membatah klaim jumlah asset Negara yang diselamatkan korps adhyaksa itu.
Jikalahari lahir ketika perusahaan-perusahaan kayu di Riau mengadakan ekspansi besar-besaran pada awal 2000-an. Didirikan pada 26 Februari 2002, Jikalahari beranggotakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang punya perhatian terhadap lingkungan, terutama penyelematan hutan. Aktivisnya anak-anak muda yang gelisah melihat hutan di Riau digundulkan. Kini sudah banyak yang dilakukan jikalahari. Mereka melakukan kampanye penyelamatan hariamau sumatera, antipembabatan hutan gambut, dan aksi bersama Greenpeace di kedalaman hutan Semenanjung Kampar. Hasil kerja mereka mulai terlihat dengan melambatnya ekspansi penggundulan hutan.
Puluhan ulama, 7.000 kitab kuning, dan hari-hari penuh energy. Itulah suasana Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada November 2002. Bolak-balik kitab kuning dibuka ,ayat-ayat AL-Quran dirujuk, riwayat para ulama terdahulu dicari relevansinya. “Kami menyusun kitab fikih khusus antikorupsi,” kata Tuan Guru Hasanain Juani,motor para ulama ketika itu. Tak Cuma menerbitkan buku, Somasi juga membuka pos pengaduan korupsi dikantor mereka di Jalan Dukuh Saleh Nomor 20, Mataram. Tiga belas tahun berdiri, pengakuan dating dari berbagai kalangan. Menurut Dwi Sudarsono, Direktur yayasan Masyarakat Nusa Tenggara Barat, berkat laporan somasi, bekas gubernur dan 18 anggota parlemen provinsi masuk bui (baca infografis “jejak Mereka”).
Sejumlah kasus korupsi mereka terlisik. Di antaranya dugaan korupsi dana cadangan umum untuk bencana alam tahun 2004. Lalu kasus korupsi dana aspirasi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut. Ada pula korupsi pemeliharaan jalan periode 2005, rasuah terkait dengan kebijakan pendidikan yang diduga melibatkan pejabat-pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Garut, Meski begitu Edwar menyayangkan pilihan lembaga ini yang dinilainya masih terlalu berfokus pada dugaan penyimpangan di jajaran birokrasi pemerintahan saja. ”Harusnya aparat hukum juga mulai diawasi,” ia menyarankan orang-orang dari jajaran birokrasi yang pernah lekat diawasi ternyata ada juga yang member respons positif.
Gerakan yang digalang T.Muhammad Zulfikar akhirnya sampai juga di meja hijau. Pertengahan Desember lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh menggelar siding peradana kasus Rawa TRipa. Tergabung dalam Tim koalisi penyelamatan Rawa Tripa, Walhi Aceh menggugat Irwandi karena telah mengizinkan PT Kalista Alam membuka lahan perkebunan kelapa sawit d.area hutan gambut Rawa Tripa. Kawasan seluas 1.065 hektare itu terletak di Desa Pulo Kruet, Nagan Raya. Bukan Cuma soal Rawa Tripa, Walhi Aceh berteriak lantang. Dalam kasus megaproyek Ladia Galaska singkatan dari Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malak-organiasasi ini mencium bau amis korupsi berceceran di mana-mana.
TANGGAPAN MENURUT SAYA
Jadikan seluruh Indonesia sebagai wilayah yang tak bersahabat bagi korupsi. Lembaga antikorupsi di berbagai daerah menjadi wadah dan wahana menampung hasil pemantauan public. Partisipasi rakyat dalam mengawasi keseharian pejabat public bisa jadi salah satu instrument penting melawan korupsi. Pada intinya, korupsi adalah Gejala. Penyakitnya adalah minimimnya intergritas. Pendidikan integritas itu dilakukan bukan melalui teori dan wejangan. Intergritas diajarkan lewat contoh, keteladanan. Pimpinan harus menjadi conto manusia berintegritas. Orang tua harus belajar mempraktekkan kehidupan dirumah yang bertumpu pada karakter manusi berintegrasi. Selain itu, makin hari jelas bahwa korupsi yang dilakukan kaum terdidik itu dahsyat. Kaum terdidik tidak hanya melakukan korupsi karena kebutuhan, tapi justru sering karena keserakahan. Fenomena ini seakan-akan mengirimkan pesan pahit: pendidikan menjadi penyuplai koruptor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar